TERBARU

Selasa, 13 September 2016

Tazkiyatun Nafs Menurut Al-Qur'an

TAZKIYATUN NAFS MENURUT AL-QUR`AN

Salah satu tugas besar yang diemban rasulullah saw adalah mentazkiyah (mensucikan) jiwa – jiwa manusia (yuzakkīhim). Berdasarkan dimensi literal bahasa (etimologis), term al-tazkiyah berasal dari kata dasar zakā (fi`il mādhī, kata verbal lampau). Dalam Maqāyīs al-Lughah disebutkan, kata yang tersusun dari lafdz zay, kāf dan huruf mu`tal (alif) menunjukkan pengertian tumbuh (namā) dan tambah (ziyādah).  Dalam bahasa Arab dikatakan shadaqah dengan zakat mal. Menurut sebagian ahli bahasa dikatakan bahwa shadaqah dinamakan zakat mal, karena dengan menunaikannya diharapkan tercapainya kesucian harta, yaitu bertambah dan bertumbuhnya harta tersebut. Sedangkan, ahli bahasa lain mengatakan bahwa shadaqah dinamakan zakat mal, karena pensucian harta. Menurut mereka, bukti kuat tentang makna ini adalah firman Allah Swt:

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka ...(Qs. At-Taubah [9]: 103)

Dasar pengertian semua yang disebutkan di atas sebenarnya tetap kembali kepada dua arti utama, yaitu tumbuh (namā) dan tambah (ziyādah). 

Al-Rāghib al-Ishfahāni menambahkan bahwa kata al-zakāt yang merupakan derivasi dari kata zakā memiliki arti tumbuhnya sesuatu yang dihasilkan dari keberkahan Allah Swt, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Dalam bahasa Arab dikatakan zakā al-zar`u yazkû, yaitu saat tanaman mencapai pertumbuhan dan keberkahan. Begitu juga kata zakat yang merupakan harta yang dikeluarkan oleh manusia kepada para fuqara yang menjadi hak Allah Swt. Amalan tersebut dinamakan zakat karena mengandung harapan adanya keberkahan, seperti kata tazkiyah al-nafs yang juga berarti tumbuhnya jiwa dengan berbagai kebaikan dan keberkahan. 

Berdasarkan penelusuran Muhammad Fu`ād `Abd al-Bāqī, dalam al-Qur`an term zakā (fi`il mādhī) dan derivasinya (tashrīf lughawi) disebutkan sebanyak lima puluh sembilan ayat.  Dalam al-Qur`an, term al-tazkiyah sendiri dipergunakan untuk menunjukkan sepuluh arti dan makna intrinsik yang saling terkait, yaitu (1) zakat harta yang telah ditetapkan hukum syari`ah (al-zakāt al-syar`iyyah) , (2) lebih dekat kepada kebaikan (al-aqrab ilā al-mashlahat) , (3) halal (al-halāl),  (4) baik dan lembut (al-husn wa al-lathāfah) , (5) pengobatan dan pemeliharaan (al-`ilāj wa al-shiyānah).  (6) semangat mengabdi (al-iqbāl `ala al-khidmah aw al-thā`at) , (7) menjaga diri dari kehinaan (al-ihtirāz `an al-fawāhisy),  (8) tauhid dan persaksian (al-tauhīd wa al-syahādat),  (9) sanjungan dan pujian (al-tsanā wa al-madh),  dan (10) bersih dan suci (al-naqā wa al-thahārah).   

Sedangkan artikulasi al-tazkiyah dari dimensi istilah syar`i (terminologis agama), menurut Ahmad Farīd (seorang ulama kontemporer yang sangat konsern dengan pendidikan jiwa) adalah:

وَيُقْصَدُ بِتَزْكِيَّةِ النُّفُوْسِ تَطْهِيْرُهَا وَتَطْيِيْبُهَا ، حَتَّى تَسْتَجِيْبَ لِرَبِّهَا وَتُفْلِحُ فِى دُنْيَاهَا وَآخِرَتِهَا كَمَا قَالَ تَعَالَى : } قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا {    الشمس : 9-10) .

“Maksud tazkiyah al-nufûs adalah mensucikan dan mengharumkannya, sehingga jiwa selalu siap memperkenankan Tuhannya serta beruntung di dunia dan akhiratnya, sebagaimana Allah Swt berfirman [Sungguh beruntung orang yang mensucikan (mentazkiyah) jiwanya dan sungguh merugi orang yang mengotorinya] (Qs. Al-Syams [91]: 9-10)”. 

`Abd al-`Azīz bin Muhammad al-`Abd al-Lathīf mengartikulasikan al-tazkiyah sebagai:

إِصْلاَحُ النُّفُوْسِ وَتَطْهِيْرُهَا عَنْ طَرِيْقِ الْعِلْمِ النَّافِعَ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ وَفِعْلِ الْمَأْمُورَاتِ وَتَرْكِ المَحْظُورَاتِ وَقَدْ بَيَّنَ النَّبِيُّ مَعْنَى تَزْكِيَّةِ النَّفْسِ بِقَوْلِهِ (أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ اللهَ عَزوَجّلَّ مَعَهُ حَيْثُ كَانَ)

“Mereformasi dan mensucikan jiwa melalui cara menggali ilmu yang bermanfaat, beramal shalih, serta mengerjakan berbagai perintah dan menjauhkan berbagai larangan. Nabi saw telah menjelaskan makna tazkiyah al-nas dengan sabda beliau ‘yaitu mengetahui bahwa Allah `Azza wa Jalla bersamanya di manapun dia berada’”.  

Hadis yang dimaksud oleh `Abd al-`Azīz bin Muhammad al-`Abd al-Lathīf sebagai artikulasi tazkiyah al-nafs adalah:

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ مَعْرُوفٍ الْحِمْصِيُّ ، حَدَّثَنَا أَبُو تَقِيٍّ عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَالِمِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْوَلِيدِ الزُّبَيْدِيُّ ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ جَابِرٍ الطَّائِيُّ ، أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ ، حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مُعَاوِيَةَ الْغَاضِرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُمْ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : " ثَلاثٌ مَنْ فَعَلَهُنَّ فَقَدْ ذَاقَ طَعْمَ الإِيمَانِ : مَنْ عَبَدَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَحْدَهُ بِأَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ ، وَأَعْطَى زَكَاةَ مَالِهِ طَيِّبَةً بِهَا نَفْسُهُ فِي كُلِّ عَامٍ ، وَلَمْ يُعْطِ الْهَرِمَةَ وَلا الدَّرِنَةَ وَلا الْمَرِيضَةَ ، وَلَكِنْ مِنْ أَوْسَطِ أَمْوَالِكُمْ ، فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَسْأَلْكُمْ خَيْرَهَا وَلَمْ يَأْمُرْكُمْ بِشَرِّهَا ، وَزَكَّى نَفْسَهُ ، فَقَالَ رَجُلٌ : وَمَا تَزْكِيَةُ النَّفْسِ ؟ ، فَقَالَ : أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مَعَهُ حَيْثُ كَانَ " 

Telah bercerita kepada kami `Alī Ibn al-Hasan Ibn Ma`rûf al-Himshī, telah bercerita kepada kami Abû Taqī `Abd al-Hamīd Ibn Ibrāhīm, telah bercerita kepada kami `Abdullāh Ibn Sālim dari Muhammad Ibn al-Walīd al-Zubaidī, telah bercerita kepada kami Yahya Ibn Jābir al-Thāī bahwa `Abd al-Rahmān Ibn Jubair Ibn Nufair,  telah bercerita kepada kami bahwa ayahnya bercerita kepadanya bahwa `Abdullāh Ibn Mu`āwiyah al-Ghādiri rda yang bercerita kepada mereka bahwa Rasulullah saw bersabda: “Ada tiga hal, barangsiapa yang melakukannya, maka dia pasti merasakan rasanya iman: 1) Barangsiapa yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla Yang Maha Esa Yang Tidak ada Tuhan yang boleh diibadahi kecuali Dia, 2) memberikan zakat hartanya dengan jiwa yang bersih setiap tahun, tidak memberikan yang renta, yang jelek dan yang sakit, tetapi harta kalian yang paling baik dan sedang, karena Allah swt tidak meminta kalian yang terbaik juga tidak memerintahkan kalian yang jelek, serta 3) mentazkiyah dirinya. Seseorang bertanya: apa tazkiyah nafs itu? Beliau saw menjawab: dia tahu bahwa Allah Azza wa Jalla bersamanya di mana saja dia berada”.  (Hr. Al-Thabrani)   

Bagi Sayyid Muhammad Ibn Jādû, tazkiyah al-nufûs diartikulasikan dengan:

وَعَلَى أَسَاسِ اْلمَعْنَى اللُّغَوِيِّ جَاءَ اْلمَعْنَى اْلاِصْطِلاَحِي لِتَزْكِيَّةِ النُّفُوْسِ، فَتَزْكِيَّةُ النَّفْسِ شَامِلَةٌ لِأَمْرَيْنِ :أ – تَطْهِيْرُهَا مِنَ اْلأَدْرَانِ وَاْلأَوْسَاخِ، قَالَ فِي الظِّلاَلِ : اَلتَّزَكِّي اَلتَّطَهُّرُ مِنْ كُلِّ رِجْسٍ وَدَنَسٍ ب – تَنْمِيَتُهَا بِزِيَادَتِهَا بِاْلأَوْصَافِ اْلحَمِيْدَةِ

“Atas dasar artikulasi etimologisnya, tazkiyah al-nufus memiliki artikulasi terminologis yang meliputi dua prinsip: 1) mensucikan jiwa dari berbagai penyakit dan kotoran. Di dalam Tafsir Fi Dzilāl al-Qur`ān dikatakan: al-tazakki adalah suci dari setiap kekejian dan kotoran. 2) menumbuhkan jiwa dengan menambahkannya sifat-sifat terpuji”.  

Sedangkan menurut Thāha Husen Bāfadhal, tazkiyah al-nafs diartikulasikan dengan:

تَطْهِيْرُهَا عَنِ الصِّفَاتِ الْمَذْمُوْمَةِ وَتَكْمِيْلُهَا وَتَحَلِّيَّتُهَا بِاْلأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَتَزْيِيْنُهَا بِجَمَالَ التَّعْظِيْمِ لِلَّهِ - عَزَّ وَجَلَّ.

“Mensucikan jiwa dari sifat-sifat tercela serta menyempurnakan dan menghiasinya dengan amal-amal shalih dan mempercantiknya dengan keindahan pengagungan kepada Allah `Azza wa Jalla”. 

Share this:

Posting Komentar

 
Designed By OddThemes & Distributd By Blogger Templates