TERBARU

Senin, 05 September 2016

Tarbiyyah Robbaniyyah

TARBIYYAH ROBBANIYYAH
(ARTI PENDIDIKAN ISLAM)
DALAM TAFSIR AL-QUR`AN

Kata rabbānī  terulang sebanyak 3 kali dalam al-Qur`ān, dua kali dalam bentuk shīghat (ungkapan kalimat) jama` mudzakkar sālim marfû` (الربانيون), yaitu Qs. al-Maidah [5]: 44 & 63 serta satu dalam bentuk shīghat jama` mudzakkar sālim manshûb (الربانيين), yaitu Qs. Ali `Imran [3]: 79.

Ayat-ayat tersebut adalah:

Pertama, Allah Swt berfirman:

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:"Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia berkata):"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (QS. Ali `Imrān [3]:79)

Kedua, Allah Swt berfirman:

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat didalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kalian takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kalian menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Māidah [5]:44)

Ketiga, Allah swt berfirman:

Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu. (QS. Al-Māidah [5]:63)Secara etimologi, kata rabbāniyah dalam bahasa Arab merupakan bentukan dari kata al-Rab yang ditambahkan huruf ya nisbah di akhirnya. Para ahli bahasa Arab telah memberikan arti pada kata al-Rab dengan beberapa arti. Arti-arti itu mencakup arti al-mālik (pemilik), al-sayyid (tuan), al-mudabbir (penata), al-murabbī (pendidik), al-qayyim (pendiri), al-mun`īm (pemberi nikmat).  Menurut Sibawaih orang-orang Arab menambahkan alif dan nūn dalam kata al-rabbānī ketika mereka ingin mengkhususkan ilmu Tuhan (al-Rab), bukan ilmu selain-Nya atau bisa berasal dari kata al-rab yang berarti al-tarbiyah (pendidikan). 

Kata rabbānī artinya al-habr wa rab al-`ilm (tinta dan pemilik ilmu). Rabbānī juga bisa berarti al-ladzī ya`bud al-Rab (orang yang mengabdi kepada Tuhan) atau bisa juga berarti al-mutaallih al-`ārif billāh (orang yang berke-Tuhan-an lagi mengenal Allah).  Sejalan dengan pendapat di atas, al-Rāghib al-Ashfahāni menambah penjelasan yang lebih tegas, menurutnya:

اَلرَّبُّ فِى الأَصْلِ اَلتَّرْبِيَّةُ , يُقَالُ رَبَّهُ وَرَبَّاهُ وَرَبَّبَهُ فَالرَّبُّ مَصْدَرٌ مُسْتَعَارٌ لِلْفَاعِلِ, وَالرَّبَّانِي قِيْلَ هُوَ مَنْسُوْبٌ إِلَى الرَّبِّ أي اَللَّهُ تَعَالَى الَّذِى هُوَ الْمَصْدَرُ وَهُوَ الَّذِى يَرُبُّ الْعِلْمَ

“al-Rab menurut etimologinya adalah al-tarbiyyah (pendidikan). Dalam bahasa Arab dikatakan rabbahu, rabbāhu, dan rabbabahu. Kata al-rab adalah mashdar yang diambil untuk menunjukkan pelaku. Sedangkan kata al-rabbānī dihubungkan kepada al-Rab yaitu Allah Ta`ala yang merupakan mashdar (sumbernya) dan Dialah yang memberikan ilmu”.  
Dalam uraian yang hampir sama, Ibn Qayyim menjelaskan:

وَمَعْنَى الرَّبَّانِي فِى اللُّغَةِ: اَلرَّفِيْعُ الدَّرَجَةِ فِى الْعِلْمِ الْعَالِى المَنْزِلَةِ فِيْهِ وَ لاَ زِيَادَةَ عَلَى فَضْلِهِ لِفَاضِلٍ وَ لاَ مَنْزِلَةَ فَوْقَ مَنْزِلَتِهِ لِمُجْتَهِدٍ 

“Arti al-rabbānī secara etimologi adalah Zat yang memiliki derajat keilmuan yang mulia dan kedudukan yang tinggi. Tak ada lagi Dzat yang lebih utama dalam kemuliaannya dan tidak ada lagi mujtahid yang berada di atas kedudukannya”.  

Dari beberapa definisi di atas, dapat diketahui bahwa dalam bahasa, rabbāniyah merupakan penisbatan kepada Allah Swt. Oleh karena itu, sebagaimana orang menisbatkan dirinya kepada negeri atau marganya, seperti Mishrī `berkebangsaan Mesir`, Syāmī `berkebangsaan Syam dan sebagainya, ada juga sekelompok orang yang disebut dengan rabbāniyyūn, yakni mereka yang telah merealisasikan syarat-syarat untuk menisbatkan dirinya kepada Allah Swt. 

Kedua akar kata dari rabbānī, yaitu al-Rab atau al-tarbiyyah sebenarnya memiliki hubungan antara sumber dan sifat karakter dasarnya. Karena, di antara sifat karakter dasar dari al-Rab (Tuhan) yaitu tarbiyah (mendidik). Tarbiyah Allah Swt (yang disebut dengan spesifikasi karakter al-Rab) memiliki dua bentuk:

1. Tarbiyah umum: yaitu menciptakan semua makhluk, memberinya rizki serta memberikan petunjuk mereka kepada semua hal yang mengandung kemaslahatan untuk dapat menjalankan kehidupan di dunia.
2. Tarbiyah khusus: yaitu mendidik para wali-Nya, dengan pendidikan iman, memberi mereka taufik dan menyempurnakannya serta mencegah berbagai unsur yang dapat mencegah sampainya hidayah kepada mereka. 

Dalam etimologi bahasa Arab, kata tarbiyah memiliki lima makna, yaitu:

Pertama, arti “al-ziyādah wa al-namā” yang berarti pertambahan dan pertumbuhan. Dalam bahasa Arab dikatakan rabā al-syaiu rubuwwan (sesuatu itu tumbuh atau bertambah).

Kedua, arti “al-nusyū wa al-tara`ra`u” yang berarti perkembangan dan pembesaran. Dalam bahasa Arab dikatakan rabautu fi hijrī (saya berkembang dan besar di rumah saya).

Ketiga, arti “al-hifdz wa al-ishlāh” yang berarti pemeliharaan dan perbaikan. Dalam bahasa Arab dikatakan raba al-māl (harta itu baik dan terpelihara).

Keempat, arti “al-tazkiyah wa al-irtifā`” yang berarti kesucian dan ketinggian. Dalam bahasa Arab dikatakan rabat al-ardhu rabaan (tanah itu suci dan tinggi).

Kelima, arti bertanggung jawab mengurus, mendukung, menjaga dan mengarahkan sesuatu untuk semua kemaslahatannya. Dalam bahasa Arab dikatakan rabbaitu Fulānan (saya mengurus si fulan). 

Pengertian yang memberikan rumusan tentang karakter atau sifat-sifat yang dimiliki oleh seorang rabbānī.

a. Berdasarkan data yang dikumpulkan al-Thabari, sebagai bapak ahli tafsir, setidaknya ada 3 pengertian rabbānī yang berkembang di kalangan para ulama salaf, yaitu:

1) arti “al-hukamā al-ulamā” yang berarti kaum bijak bestari lagi ahli ilmu. Riwayat ini berasal dari para pakar tafsir antara lain Abu Rizīn, al-Hasan, Mujāhid, Qatādah, al-Suddi, Ibn `Abbās, Yahyā Ibn `Aqīl dan al-Dhahhāk.

2) arti “al-hukamā al-atqiyā” yang berarti kaum bijak bestari lagi bertaqwa. Riwayat ini berasal dari salah seorang ulama tafsir di kalangan ulama salaf yaitu Sa`īd Ibn Juber.

3) arti “wulāt al-Nās wa qādatuhum” yang berarti para pengurus dan pemimpin manusia. Riwayat ini berasal dari salah seorang ulama tafsir di kalangan ulama salaf yaitu Ibn Zaid. 
Bagi al-Thabarī sendiri, semua arti yang dikemukakan oleh semua ahli tafsir di kalangan salaf tidak saling bertentangan, bahkan semuanya masuk dalam pengertian rabbānī. Dalam hal ini, dia mengungkapkan: 

وَ"الرَّبَّانيِ" هُوَ الْمَنْسُوْبُ إِلَى مَنْ كَانَ بِالصِّفَةِ اَّلتِي وَصَفْتُ وَكَانَ اْلعَالِمُ بِاْلفِقْهِ وَاْلحِكْمَةِ مِنَ الْمُصْلِحِيْنَ، يَرُبُّ أُمُوْرَ النَّاسِ، بِتَعْلِيْمِهِ إِيَّاهُمْ الْخَيْرَ، وَدُعَائِهِمْ إِلَى مَا فِيْهِ مَصْلَحَتُهُمْ وكان كذلك الحكيمُ التقيُّ لله، والوالي الذي يلي أمور الناس على المنهاج الذي وَليه المقسطون من المصْلحين أمورَ الخلق، بالقيام فيهم بما فيه صلاحُ عاجلهم وآجلهم، وعائدةُ النفع عليهم في دينهم، ودنياهم كانوا جميعًا يستحقون أن يكونوا ممن دَخل في قوله عز وجل:"ولكن كونوا ربانيين" 

“al-Rabbānī ditujukan untuk orang yang memiliki sifat yang telah saya sebutkan sebelumnya. Dialah ahli ilmu fiqh dan hikmah yang tergolong kaum reformis, dialah yang menata urusan manusia dengan memberikan mereka pengajaran yang baik dan ajakan tentang semua hal yang berkaitan dengan kemaslahatan mereka. Begitu juga orang bijak bestari yang bertaqwa kepada Allah, pemimpin yang mengurus segala urusan manusia berdasarkan manhaj yang dijadikan pijakan bagi para reformis yang adil dalam menata kehidupan manusia dengan berupaya keras menegakkan semua sendi yang mengandung kemaslahatan mereka, baik di dunia maupun di akhirat serta bermanfaat bagi agama dan dunia mereka. Semua mereka ini berhak dimasukkan dalam kelompok firman Allah `Azza wa Jalla sebagai [kûnû rabbāniyyīn].”. 

b. Menurut Māzin Ibn `Abd al-Karīm al-Frêh, rabbānī adalah orang-orang yang memiliki karakter-karakter khusus yang meliputi:

1) Murabbin hakīm (pendidik yang bijaksana)

Rabbāniyūn kata tunggalnya adalah rabbānī yang dinisbahkan kepada al-Rab. Rabbānī adalah orang yang mendidik manusia dengan ilmu-ilmu yang sederhana sebelum ilmu-ilmu yang pelik. Seakan-akan dia mensuritauladani Allah swt dalam memudahkan berbagai urusan. Pengertian ini diriwayatkan dari Ibn `Abbās rda yang tercantum dalam Shahīh al-Bukhāri secara mu`allaq. 

2) Dā`iyah mushlih (pembimbing yang reformis)

Rabbāniyūn adalah para pemilik ilmu, kata tunggalnya adalah rabbān yang diambil dari perkataan orang Arab: rabba yarubbuhu fahuwa rabbān: dengan arti dia yang mengatur dan memperbaikinya. Atas dasar tersebut, maka artinya: merekalah yang menata dan memperbaiki urusan manusia. 

3) Mengamalkan ilmu 

Orang yang berilmu tentang agama al-Rab (Tuhan-nya) adalah orang yang mengamalkan ilmunya. Karena, jika dia tidak mengamalkan ilmunya, berarti dia bukanlah orang yang berilmu.

4) Taqiyyun halīm (bertaqwa lagi penyabar)

`Abdullāh Ibn Mas`ûd rda berkata:

“(Akan tetapi jadilah kalian rabbānī) yaitu para ulama yang bijak bestari”.

Ibn Jubair rda berkata:

“Kaum bijak bestari lagi bertaqwa”.

5) faqīh bi wāqi` ummatih (memahami realita umat).

Rabbānī adalah orang yang menggabungkan ilmu pengetahuan dengan pandangan politik yang bijak. Diambil dari perkataan orang Arab: rab amr al-nās yarubbuhu, yaitu ketika dia memperbaiki dan menegakkan urusan umat, maka dialah rabbān dan rabbānī untuk menunjukkan seringnya. Abu `Ubaidah berkata: Aku mendengar seorang yang berilmu berkata: rabbānī adalah orang yang berilmu tentang halal, haram, perintah dan larangan serta mengetahui berbagai khabar tentang umatnya, baik yang telah berlalu maupun yang sedang terjadi.   

c. Nāshir Ibn Sulaimān al-`Umr menyimpulkan 3 pilar yang harus dimiliki seorang rabbānī, yaitu:

1) Memiliki ilmu syar`i.

Allah Swt berfirman:

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat didalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kalian takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kalian menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Māidah [5]:44)

Di dalam ayat ini, Allah Swt mensifati rabbāniyūn dan ahbār sebagai orang-orang yang ustuhfidzū min Kitabillāh yang dikatakan oleh Ibn Katsīr  sebagai penjaga Kitabullah agar selalu ditampilkan dan diamalkan. Bahkan menurut Ibn Jarīr al-Thabarī  bahwa rabbāniyūn adalah para ulama yang diperintahkan untuk menjaga Kitabullah yang ada di masa mereka (yaitu Taurat).

Dari sini tampak jelas bahwa di antara sifat mereka adalah memiliki ilmu yang kokoh dan luas, atau melakukan pembelajaran ilmu dan memperbaiki umat sebagai konsekwensi logis dari keilmuannya.
Untuk itu, para ulama salaf menyebut rabbāniyūn untuk para ulama yang memiliki kedalaman ilmu serta syarat-syarat lain. Pada saat Ibn `Abbās rda wafat, Muhammad Ibn `Alī Ibn Abi Thālib yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Hanafiyah mengatakan bahwa pada hari itu seorang rabbānī umat ini sudah wafat.  Sedangkan Murrah memberikan gelar `Alqamah sebagai salah seorang rabbānī. 

2) Mengamalkan ilmu yang dimilikinya.

Saat menyebut rabbāniyūn di dalam ayatnya, Allah Swt menyebutkan syarat ini sebagai bagian dari pengertian rabbānī. Allah Swt berfirman:

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kalian menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia berkata):"Hendaklah kalian menjadi orang-orang rabbani, karena kalian selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kalian tetap mempelajarinya. (QS. Ali `Imrān [3]:79)

Salah satu pengertian rabbānī yang ditafsirkan oleh sebagian ulama salaf adalah “atqiyā”, yaitu orang-orang yang bertaqwa, seperti yang ditafsirkan oleh Muqātil Ibn Sulaimān dan Sa`īd Ibn Zubair. Kata taqwa tidak mungkin disematkan kecuali mengandung unsur pelaksanaan suatu amal dan peninggalan suatu larangan. 

3) Menyeru umat manusia serta mendidik mereka dengan pendidikan iman.

Saat memberikan ulasan tafsir Qs. Al-Maidah [5]:44, `Abd al-Rahmān Ibn Nāshir al-Sa`dī mengatakan:

أَيْ: وَكَذَلِكَ يَحْكُمُ بِالتَّوْرَاةِ لِلَّذِيْنَ هَادُوا أَئِمَّةُ الدِّيْنِ مِنَ الرَّبَّانِيِّيْنَ، أَيْ: اَلْعُلَمَاءِ اْلعَامِلِيْنَ اْلُمعَلِّمِيْنَ الَّذِيْنَ يَرُبُّوْنَ النَّاسَ بِأَحْسَنِ تَرْبِيَّةٍ، وَيَسْلُكُوْنَ مَعَهُمْ مَسْلَكَ اْلأَنْبِيَاءِ اْلمُشْفِقِيْنَ. وَاْلأَحْبَارِ أَيْ: اَلْعُلَمَاءِ اْلكِبَارِ الَّذِيْنَ يُقْتَدَى بِأَقْوَالِهِمْ، وَتُرْمَقُ آثَارُهُمْ، وَلَهُمْ لِسَانُ الصِّدْقِ بَيْنَ أُمَمِهِمْ. وَذَلِكَ الْحُكْمُ الصَّادِرُ مِنْهُمُ اْلمُوَاِفقُ لِلْحَقِّ {بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِن كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ} أَيْ: بِسَبَبٍ أَنَّ اللهَ اسْتَحْفَظَهُمْ عَلَى كِتَابِهِ، وَجَعَلَهُمْ أُمَنَاءَ عَلَيْهِ، وَهُوَ أَمَانَةٌ عِنْدَهُمْ، أَوْجَبَ عَلَيْهِمْ حِفْظَهُ مِنَ الزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ وَاْلكِتْمَانِ، وَتَعْلِيْمَهُ لِمَنْ لاَ يَعْلُمُهُ. وَهُمْ شُهَدَاءُ عَلَيْهِ، بِحَيْثُ أَنَّهُمُ اْلمَرْجُوْعُ إِلَيْهِمْ فِيْهِ، وَفِيْمَا اشْتَبَهَ عَلَى النَّاسِ مِنْهُ، فَاللهُ تَعَالَى قَدْ حَمَّلَ أَهْلَ اْلعِلْمِ، مَا لَمْ يَحْمِلْهُ الْجُهَّالُ، فَيَجِبُ عَلَيْهِمْ اْلقِيَامُ بِأَعْبَاءِ مَا حُمِّلُوْا.

“Demikianlah yang menetapkan hukum Taurat kepada orang-orang Yahudi adalah imam-imam (tokoh) agama di kalangan rabbaniyun, yaitu ulama yang berkarya dan pendidik yang mendidik manusia dengan pendidikan yang terbaik serta menempuh kehidupan para Nabi yang amat penyayang. Demikian juga para ahbār yaitu para ulama besar yang perkataan mereka menjadi panutan dan jejak kehidupan mereka menjadi panduan serta memiliki pesan-pesan kebenaran untuk umat mereka. Semua itu disebabkan oleh karena Allah Swt memerintahkan mereka untuk menjaga atau memelihara kitab-Nya serta menjadikan mereka pemegang amanah kandungan-nya. Allah Swt pemberi amanah mengharuskan mereka menjaganya dari penambahan atau pengurangan dan penyembunyian serta wajib mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya.

Mereka (para rabbānī dan ahbār) adalah saksi-saksi Kitabullah, di mana merekalah sumber rujukan kaum mereka tentang kandungannya dan apa saja yang sulit dipahami orang. Allah Swt telah memberikan beban tugas kepada seorang ahli ilmu yang tidak diserahkan kepada orang jahil. Untuk itulah, mereka wajib mewujudkan amanah yang mereka emban. 

Sudah menjadi kaedah yang logis jika dikatakan bahwa menjaga syariat Allah Swt tak mungkin diwujudkan hanya menjaganya di jiwa dan mengamalkannya saja, tetapi juga harus disampaikan kepada umat serta dibina dan dididik sesuai tuntunannya.

Share this:

Posting Komentar

 
Designed By OddThemes & Distributd By Blogger Templates