TERBARU

Senin, 05 September 2016

Fiqih Tarbiyah dari Madrasah Musa dan Khidr

FIQIH TARBIYAH DARI MADRASAH MUSA DAN KHIDR

Di antara nilai-nilai moral dan hikmah berharga pada kisah Musa dan Khidr adalah:

Pertama, bagi yang menuntut ilmu di awal belajarnya, sebaiknya tidak bertanya atau berkomentar lebih dulu pada gurunya. Sebab yang demikian itu bisa menghalangi dirinya untuk mendapatkan ilmu sang guru. Apalagi jika tidak jelas baginya cara yang tepat untuk menyampaikan pertanyaan dimana ia tidak boleh menganggu gurunya. Dalam hal ini kita bisa mengambil pelajaran dari kisah Bani Israel yang tidak sopan ketika berdialog dengan Nabinya. Begitu juga Hawariyyun dengan Isa yang menyebabkan teguran dan murkan Allah. Allah SWT berfirman:

“Mereka menjawab, ‘Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami.’” (QS. al-Baqarah: 68)

“Ingatlah, ketika pengikut-pengikut Isa berkata, ‘Wahai Isa putra Maryam, bersediakah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?’” (QS. al-Ma’idah: 112)

Ungkapan “Tuhanmu” ini merupakan ungkapan yang tidak sopan dan tidak etis, dimana seolah-olah Allah itu Tuhannya Musan dan Isa saja, bukan Tuhan mereka, mengingat mereka adalah kaum yang beriman kepada Allah dan risalah Nabi yang mereka berdialog dengannya.

Hal ini berbeda dengan ungkapan dan doa Nabi Isa AS yang merespon permohonan Hawariyyin dengan ungkapan yang mendidik.

“Isa putra Maryam berkata, ‘Wahai Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang akan datang sesudah kami dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezkilah kami dan Engkaulah Pemberi Rezki yang Paling Utama.’” (QS. al-Ma’idah: 114)

Kedua, jika seorang guru merasa muridnya bukan pemula dan latar belakang ilmu yang dimiliki membuatnya banyak bertanya dan berkomentar, maka bagi guru sebaiknya memberikan syarat-syarat terhadap muridnya agar menciptakan kondisi yang kondusif dalam menyampaikan risalah ilmunya. Saat murid tidak konsisten dengan syarat yang telah ditentukan, maka guru mensyaratkan untuk meninggalkan pelajaran. Allah SWT berfirman:

“Dia berkata, ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah menanyakan kepadaku tentang suatu apapun, sampai aku sendiri yang menerangkannya kepadamu.’” (QS. al-Kahfi: 70)

Ketiga, bagi seorang guru diperbolehkan untuk memperllihatkan segi kekurangan pengetahuan murid dan memberitahukan hal tersebut kepadanya denga objektif. Hal itu dilakukan dalam rangka mendidik bukan merendahkan, agar seorang murid tidak terperdaya dan “ghurur” dengan ilmunya. Allah SWT berfirman:

“Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’” (QS. al-Kahfi: 68)

Keempat, setelah bertakan dan senantiasa mengaitkan seluruh perkaranya dengan kehendak Allah, maka seorang murid hendaknya memperlihatkan dirinya kepada sang guru akan keseriusannya dan kesabarannya dalam menuntut ilmu. Hal tersebut dilakukan bukan untuk riya’ ata memuji dirinya, akan tetapi semata-mata mensyukuri nikmat Allah. Allah SWT berfirman:

“Musa berkata, ‘Insyaa Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang penyabar dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan pun.” (QS. al-Kahfi: 69)

Share this:

Posting Komentar

 
Designed By OddThemes & Distributd By Blogger Templates