TERBARU

Minggu, 04 September 2016

Filsafat dan Hikmah

FILSAFAT DAN HIKMAH

Dalam tradisi intelektual Islam, kita temukan tiga istilah yang umum untuk filsafat. Pertama, istilah hikmah,yang tampaknya sengaja dipakaiagar terkesan bahwa filsafat itu bukan barang asing, akan tetapi berasal dari dan bermuara pada al-Qur’an. Al-‘Amiri, misalnya, menulis bahwa hikmah berasal dari Allah, dan diantara manusia yang pertama dianugrahi hikmah oleh Allah ialah Luqman al-Hakim. Disebutnya ketujuh filsuf Yunani kuno itu sebagai ahli hikmah (al-hukama’ as-sab‘ah)–yakni Thales, Solon, Pittacus, Bias, Cleobulus, Myson dan Chilon.

Demikian pula al-Kindi, yang menerangkan bahwa ‘falsafah’ itu artinya hubb al-hikmah (cinta pada kearifan). Sementara Ibn Sina menyatakan bahwa: hikmah adalah kesempurnaan jiwa manusia tatkala berhasil menangkap makna segala sesuatu dan mampu menyatakan kebenaran dengan pikiran dan perbuatannya sebatas kemampuannya sebagai manusia (istikmal an-nafs al-insaniyyah bi tashawwur al-umur wa t-tashdiq bi l-haqa’iq an-nazhariyyah wa l-‘amaliyyah ‘ala qadri thaqat al-insan). Siapa berhasil menggapai ‘hikmah’ sedemikian makaiatelah mendapat anugerah kebaikan berlimpah, ujar Ibn Sina.

Sudah barang tentu tidak semua orang setuju dengan istilah ini. Imam al-Ghazali termasuk yang menentangnya. Menurut beliau, lafaz ‘hikmah’ telah dikorupsi untuk kepentingan filsuf, karena ‘hikmah’ yang dimaksud dalam kitab suci al-Qur’an itu bukan filsafat, melainkan Syari‘at Islam yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul.

Yang kedua adalah istilah falsafah, yang diserap ke dalam kosakata Arab melalui terjemahan karya-karya Yunani kuno. Definisinya diberikan oleh al-Kindi: filsafat adalah ilmu yang mempelajari hakikat segala sesuatu sebatas kemampuan manusia. Filsafat teoritis mencari kebenaran, manakala filsafat praktis mengarahkan pelakunya agar ikut kebenaran. Berfilsafat itu berusaha meniru perilaku Tuhan. Filsafat merupakan usaha manusia mengenal dirinya. Demikian tulis al-Kindi.

Sekelompok  cendekiawan bernama‘Ikhwan as-Shafa’ menambahkan: ‘Filsafat itu berangkat darirasaingin tahu. Adapun puncaknya adalah berkata dan berbuat sesuai dengan apa yang anda tahu (al-falsafah awwaluha mahabbatul-‘ulum … wa akhiruha al-qawl wal-‘amal  bi-ma yuwafiqul-‘ilm)’.
Ketiga, istilah ‘ulum al-awa’il yang artinya ‘ilmu-ilmu orang zaman dulu’. Yaitu ilmu-ilmu yang berasal dari peradaban kuno pra-Islam seperti India, Persia, Yunani dan Romawi. Termasuk diantaranya ilmu logika, matematika, astronomi, fisika, biologi, kedokteran, dan sebagainya.

Secara etimologi, kata al-hikmah mengandung empat pengertian, antara lain:

1. Al-`Ilm wa al-fiqh (Ilmu dan pemahaman) atau al-`ilmu ma`a al-`amal (ilmu yang disertai amal kebajikan)
2. Itqān al-Umûr (Keakuratan masalah)
3. Kata-kata bermanfaat yang dapat mencegah kejahilan dan kedunguan.
4. Tercegah dari kerusakan.

Setelah meneliti makna-makna hikmah dalam kamus-kamus bahasa, Ibn Taimiyah memberikan kesimpulan tentang arti etimologi dari kata hikmah Sebagai “Pemutus dan pembeda, pemisah dan pembatas yang dapat menghantarkan terwujud dan tercapainya sesuatu secara akurat”. 
Sedangkan pengertian hikmah secara terminologi dapat kita petik dari berbagai definisi yang disampaikan oleh para ulama.

1. Al-Qurthubī dalam tafsirnya tentang pengertian hikmah menguraikan:

“Para ulama berbeda pendapat tentang arti hikmah.

a. Al-Suddī berkata : kenabian.
b. Ibn `Abbās rda berkata: Mengenal al-Qur`ān, pemahamannya, nasakhnya, muhkamnya, mutasyabihatnya, garibnya, muqaddim dan muakhkhirnya.
c. Qatādah dan Mujāhid berkata: hikmah adalah pemahaman terhadap al-Qurān.
d. Mujāhid berkata: Ketepatan dalam perkataan dan perilaku.
e. Ibn Zaid berkata: hikmah adalah rasionalitas dalam beragama
f. Mālik Ibn Anas berkata: hikmah adalah mengenal agama Allah, memahaminya dan menapak tilasinya.
g. Dalam riwayat Ibn al-Qāsim, dia berkata bahwa hikmah adalah bertafakur tentang perintah Allah dan mengikutinya. Beliau juga mengatakan bahwa hikmah adalah menta`ati Allah, memahami dan mengamalkan agama.
h. Rabī` Ibn Anas berkata: hikmah adalah rasa takut
i. Ibrāhīm al-Nakhā`i berkata: hikmah adalah memahami al-Qur`an, hal inipun dikatakan oleh Zaid Ibn Aslam.
j. al-Hasan berkata: hikmah adalah sikap wara.

Lalu, al-Qurthubī memberikan kesimpulan bahwa semua pandangan yang disebutkan di atas –selain perkataan al-Suddī, al-Rubayyi` dan al-Hasan- saling berdekatan arti, karena hikmah adalah kata mashdar (benda) dari ihkām yaitu akurat dalam berkata atau berbuat. Setiap pendapat tersebut di atas sebenarnya bagian dari jenis hikmah, Kitabullah itu hikmah, sunnah Nabi adalah hikmah dan setiap berbagai keutamaan adalah hikmah. Asal kata hikmah adalah apa saja yang mencegah kedunguan, ilmu dikatakan hikmah, karena ilmu mencegah kebodohan dan dengan ilmu akan tercegah dari kedunguan serta setiap perbuatan buruk. Begitu juga arti al-Qur`ān, akal dan pemahaman. 

2. Ibn Taimiyah mengatakan bahwa hikmah di dalam al-Qur`an mengandung pengertian tiga unsur:

a. Ma`rifah al-haq (mengenal kebenaran), 
b. Qaul al-haq (mengatakan kebenaran), dan 
c. al-`amal bi al-haq (mengamalkan kebenaran). 

3. Ibn Qayyim menguraikan salah satu arti hikmah yang dikemukakan oleh para ulama, di antaranya menurut beliau adalah ilmu yang bermanfaat, amal saleh dan menepati kebenaran, baik dalam hal keyakinan, perkataan maupun perbuatan. 

4. Ibn Hajar al-`Asqalāni mengatakan bahwa hikmah itu bersifat umum mencakup apa saja yang dapat mencegah kejahilan dan menyingkirkan keburukan. 

5. Dalam uraian yang cukup singkat, Sayyid Quthb menegaskan bahwa hikmah lebih pada integrasi antara kesederhanaan dan keseimbangan, kemampuan menangkap `illat (alasan) dan ghāyah (tujuan), serta meletakkan segala urusan di tempatnya dengan ilmu, data dan analisa. 

Dari uraian para ulama tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian hikmah dapat dilihat dari dua sudut pandang:

1. Dari segi teoritis ilmiah.

Dari segi ini, hikmah dimengerti sebagai ketelitian terhadap sesuatu yang berada di balik yang tersurat, mengetahui keterikatan antara sebab akibat, baik yang berbentuk hukum alam maupun hukum perintah dan larangan, atau yang bersifat qadar hukum sosial ataupun yang berbentuk hukum syariah.

2. Dari segi amal praktis.

Dari segi ini, hikmah diartikan dengan makna meletakan sesuatu di tempatnya yang tepat.  Dari segi amal praktis, menurut `Ali Muhammad al-Shallābī, hikmah memiliki tiga tingkatan, yaitu:

a. Memberikan sesuatu haknya masing-masing, tidak melampaui batas, tidak tergesa-gesa dari waktunya dan tidak pula mengakhirkan watunya. Segala hal memiliki derajat dan hak-hak yang dikandungnya, memiliki batas dan target yang harus digapai dan tidak boleh dilampaui, memiliki waktu yang tidak boleh didahului atau ditunda. Di sinilah hikmah berarti menjaga tiga segi hal tersebut.

b. Mengenal keadilan Allah dalam ancaman-Nya, kebaikan Allah dalam janji-Nya serta keadilan-Nya dalam hukum-hukum Allah, baik yang bersifat syar`i maupun hukum alam yang berlaku kepada makhluk-makhluk-Nya, karena di dalamnya tak ada kezaliman dan penyelewengan. Allah Swt berfirman:

Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (Qs. An-Nisa [4]: 40)

c. Bashīrah (kemampuan mumpuni), yaitu kekuatan daya tangkap, kecerdasan, ilmu dan keahlian. 

Share this:

Posting Komentar

 
Designed By OddThemes & Distributd By Blogger Templates