Akal

AKAL

A. DEFINISI AKAL

Kata ‘aql dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti, diantaranya: ad-Diyah (denda), al-Hikamh (kebijakan), husnut tasharuf (tindakan yang baik). Secara terminologi, ‘aql digunakan untuk dua pengertian:

Pertama, aksioma-aksioma rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang ada pada setiap manusia.

Kedua, kesiapan bawaan yang bersifat instinktif dan kemampuan yang matang.

Akal merupakan ‘ardh atau sifat aksiden yang ada dalam diri manusia yang bisa ada dan bisa hilang. Sifat itu dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya:

“…dan orang gila sampai ia berakal kembali.” (HR. Abu Daud)

Ia adalah insting yang diciptakan Allah SWT kemudian diberi muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan Allah. Firman Allah SWT:

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan.” (QS. al-Isra: 70)

Karena itu, maka tempat akal itu terletak di hati yang merupakan pusat penilaian Allah terhadap manusia, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW:

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan bentuk kalian, tidak juga kepada jasad kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)

Selain itu, dalam kitab adabul mufrad, Imam Bukhari meriwayatkan hadits bahwa,

“Akal itu ada dalam hati.”

Inilah pendapat yang kebenarannya diyakini oleh jumhur ulama dan fuqoha. Pendapat itu sama sekali tidak menafikan adanya hubungan antara  akal dan kepala manusia, yaitu bahwa akal adalah kekuatan pemikir yang ada di dalamnya.

B. KEDUDUKAN AKAL DALAM SYARIAT ISLAM

Syariat Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal manusia. Dan itu dapat dilihat pada poin-poin berikut:

Pertama, Allah SWT hanya menyampaikan Kalam-Nya kepada orang-orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syariat-Nya. Allah SWT berfirman:

“…dan merupakan peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Shaad: 43)

Kedua, akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif (beban kewajiban) dari Allah SWT. Hukum-hukum syariat tidak berlaku bagi mereka yang tidak menerima taklif. Dan diantara mereka yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan akalnya. Rasulullah SAW bersabda:

“Pena (catatan pahala & dosa) diangkat dari tiga golongan, diantaranya adalah orang gila sampai dia kembali sadar (berakal).” (HR. Abu Daud)

Ketiga, Allah SWT mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Sebagaimana celaan Allah terhadap penghuni neraka yang tidak menggunakan akalnya. Firman Allah SWT:
“Dan mereka berkata, ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-pernghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. al-Mulk: 10)

Keempat, penyebutan begitu banyak proses dan aktivitas kepemikiran dalam al-Qur’an, seperti tadabbur, tafakkur, ta’aqqul dan lainnya. Maka kalimat semacam “la’allakum tatafakkarun” (mudah-mudahan kamu berfikir) atau “afalaa ta’kilun” (apakah kamu tidak berakal) atau “afalaa yatadabbaruuna al-Qur’an” (apakah mereka tidak mentadabburi al-Qur’an) dan lainnya.

Kelima, al-Qur’an menggunakan penalaran logika rasional. Misal dalam firman-Nya;

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau sekiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. an-Nissa: 82)

“Sekiranya di langit dan bumi ada Tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.” (QS. al-Anbiya: 22)

“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yng menciptakan (diri mereka sendiri).” (QS. al-Anbiya: 22)

Keenam, Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fungsi dan kerja akal. Allah SWT berfirman:

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: Tidak! Tetapi kami hanya akan mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami.’ Apakah mereka akan mengikuti juga walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun dan tidak mendapat petunjuk?’” (QS. al-Baqarah: 170)

Ketujuh, Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam memahami dan mengikuti kebenaran. Allah SWT berfirman:

“…Sebab itu sampaikanlah berita (gembira) itu kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan alu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. az-Zumar: 17-18)

Kedelapan, pembatasan wilayah kerja akal dan pikiran manusia. Allah SWT berfiman;

“Maka apakah mereka tidak melihat langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasi langit  dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun. Dan Kami hamparkan bumi itu, Kami letakkah padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah).” (QS. al-Anbiya: 110)

“Mereka bertanya tentang ruh kepadamu, katakanlah: ‘Ruh itu adalah urusan Rabbku. Dan tiadalah kalian diberi ilmu melainkan sedikit.” (QS. al-Isra: 85)

“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, dan tiadalah mereka dapat meliputi dengan ilmu mereka.” (QS. Thaha: 110)

Kesembilan, Allah sering menggunakan perumpamaan yang bersifat fisik untuk menjelaskan berbagai hal yang metafisik. Misal firman-Nya:

“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan dan membiarkan mereka dalam kegelapan, mereka tidak dapat melihat.” (QS. al-Baqarah: 17)

Kesepuluh, Islam memberi petunjuk Qiyas (analogi) yang benar. Allah SWT berfirman:

“Maka ambilah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. al-Hasyar: 2)

Kesebelas, Allah menggunakan bekas (tanda) untuk membuktikan adanya pemberi bekas (tanda). Dan itu merupakan suatu proses berfikir yang dibutuhkan untuk mengetahui adanya hubungan antara bekas dan pemberi bekas. Allah SWT berfirman:

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya pengelihatanmu itu akan kemabli kepadamu dengan tidak menemukan suatu cacat dan pengelihatannmu itu pun dalam keadaan payah.” (QS. al-Mulk: 3-4)

C. AL-QUR’AN DAN ANALOGI AKAL

Seperti telah dijelaskan bahwa al-Qur’an menggunakan dua bentuk penggunaan dalil:

1. Berita-berita yang benar namun tidak didasarkan pada kerangka logika akal, tetapi sengaja dibuat demikian untuk menetapkan hakikat-hakikat aqidah sebgai suatu aksioma absolut.

2. Berita-berita yang benar yang didasarkan pada kerangka logika akal sehat. Dalam hal itu, al-Qur’an sepenuhnya menekankan konsistensi atara premis-premis analoginya.

Antara dasar itu ditemukan banyak ayat al-Qur’an yang menggunakan analogi akal absolut. Beberapa di antarnaya dapat disebut sebagai berikut:

1. Analogi kontradiksi ketuhanan. Yaitu konklusi yang diambil dari premis-premis yang menyatakan bahwa ketiadaan zat pertama mengharuskan ketiadaan zat kedua. Contohnya:

“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.” (QS. al-Anbiya: 22). Kesimpulan ini dapat diambil dari urutan premis berikut:

Premis pertama: jika ada Tuhan selain Allah di langit dan di bumi maka rusaklah keduanya

Premis kedua: tetapi langit dan bumi tidak rusak

Konklusi: jika begitu, berarti tidak adaTuhan di langit dan di bumi selain Allah.

2. Analogi kelebihutamaan. Inilah yang tertera dalm firman-Nya, “Dan bagi-Nya-lah sifat Maha Tinggi…” (QS. ar-Rum: 27)

Maksudnya, setiap kesempurnaan wujud yang mungkin ada, yang tidak mengandung kekurangan atau cacat, yang dimiliki oleh makhluk, maka sang Khaliq (pencipta) lebih utama untuk memilikinya. Dan setiap kekurangan tersebut yang dianggap cacat bagi makhluk, maka Allah terbebas dari kekurangan tersebut. Contohnya: mendengar adalah sifat kesempurnaan wujud yang dimiliki makhluk, maka sang pencipta lebih utama memilikinya. Sebaliknya, buta adalah sifat kekurangan di mana makhluk yang memilikinya dianggap cacat, maka al-Khaliq lebih utama untuk tidak memilikinya.

3. Menganalogikan yang gaib atas yang nampak. Yaitu dengan menganalogikan sesuatu yang tidak tertangkap oleh indera kita dari apa yang diberikan Allah kepada kita, dengan apa yang kita kenal dan kita ketahui. Itu akan memudahkan kita mengenali dan memahaminya. Sehingga kita akan memperhatikannya bila itu kebaikan, dan menjauhinya bila itu keburukan. Misalnya, menganalogikan apa yang di akhirat dengan apa yang di dunia. Sebab tanpa analogi itu kita akan sulit memahami hakikat akhirat. Tetapi dengan analogi itu, kita menjadi takut atau berharap dan semacamnya.

D. PERBEDAAN ANALOGI AL-QUR’AN DENGAN ANALOGI LOGIKA

Perbedaan analogi al-Qur’an dengan analogi logika dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Analogi al-Qur’an dapat mengantarkan kita pada suatu konklusi yang jelas, sedang analogi logika hanya mengantar kita pada konklusi yang bersifat umum.
2. Analogi al-Qur’an mempunyai hasil dan akibat yang lebih selamat karena ia mengantar kita kepada kebenaran absolut, sedang analogi logika belum tentu memberi hasil dan akibat yang selamat, karena ia kadang mengantar kita kepada kebenaran dan terkadang juga tidak sampai pada kebenaran.
3. Wilayah analogi al-Qur’an lebih luas daripada analogi logika. Karena analogi al-Qur’an mengacu kepada wilayah umum dan parsial, sementara analogi logika hanya berada pada wilayah umum.
4. Analogi al-Qur’an adalah wahyu Allah, maka substansi kebenarannya bersifat mutlak, sedang analogi logika tidak selalu memberi kebenaran mutlak.
5. Analogi al-Qur’an hanya menggunakan premis-premis dan konklusi-konklusi yang mahsyur, sedan analogi logika mengharuskan penggunanya menyebut premis dan konklusi.
6. Analogi al-Qur’an tidak selalu menggunakan dua premis, ia boleh terdiri dari dua atau tiga atau bahkan satu premis. Sedangkan analogi logika harus menggunakan dua premis.
7. Analogi al-Qur’an hanya mengharuskan adanya konsistensi antara obyek pertama dan kedua yang dianalogikan. Sedangkan analogi logika masih menggunakan syarat lain selain konsistensi.

E. BENTUK-BENTUK PENALARAN AKAL

Ada tiga macam bentuk penalaran akal:

1. Penalaran dalam masalah-masalah yang bersifat makro tanpa masalah-masalah yang bersifat mikro. Karena masalah-masalah akal merupakan penalaran terhadap kaidah dan prinsip umum yang berlaku atas satuan-satuannya. Misal seorang dipukul, maka orang lain tidak bisa merasakan sakit yang dirasakan orang yang dipukul itu, tetapi dapat diketahui melalui pemberitaan-pemberitaan bahwa pemukulan itu menyakitkan.

2. Penalaran atas perbedaan antara sesuatu yang saling berbeda dan kesamaan antara sesuatu yang sama atau mirip dengan mengetahui sifat-sifat kolektif benda-benda. Misalnya mengetahui bahwa manusia itu mempunyai kehidupan dan bahwa ia dapat mendengar dan sebagaianya.

3. Penalaran atas apa yang bermanfaat dan berbahaya. Manusia dapat mengetahui apa yang secara umum berguna atau berbahaya bagi dirinya, atas dasar konklusi-konklusi yang ia peroleh dari berbagai pengalaman. Karena itu, manusia dapat mengetahui iman dan bahaya kekufuran.